Genre : Romance
Author : Inay (Iam_CassiELFVip)
Date : 19 April 2011
Hembusan angin dingin di pagi hari menembus jaketku yang tidak terlalu tebal. Kicauan burung-burung kecil terdengar jelas sangat merdu. Hamparan daun-daun teh di sekitarku menjadi pemandangan indah di pagi ini.
Aku sedang berada di salah satu daerah perkebunan di puncak dengan ditemani seekor kuda betina berwarna coklat yang gagah, bukan seorang laki-laki tampan berpakaian rapi seperti impianku.
Sudah cukup lama aku tidak ke sini semenjak kelulusan SMA-ku tiga tahun yang lalu. Tampaknya tidak ada yang berubah dari tempat ini sejauh mata memandang.
Tiba-tiba kudaku meringkik keras dan menjadi liar, tidak bisa dikendalikan. Ia berlari sangat cepat di antara kerikil-kerikil yang berukuran sedang. Aku menjerit ketakutan. Sudah beberapa kali aku mencoba untuk mengendalikannya, tapi tetap saja tidak bisa. Jeritanku semakin keras dan melengking.
Lalu kudengar seekor kuda berlari di belakangku. Sepertinya jeritanku sudah membuat orang yang menunggangi kuda itu berusaha untuk menolongku. Aku tidak tahu pasti siapa yang akan menolongku karena aku tidak berani mengalihkan pandanganku.
Kuda itu semakin mendekat ke arahku.
“Ayo lompat ke sini!” ucap seorang laki-laki.
Aku tertegun melihatnya.
“Tidak usah banyak mikir! Ayo cepat lompat! Sebentar lagi di depan sana ada jurang. Cepat lompat!” ucapnya lagi.
Tanpa berpikir panjang, aku pun segera melompat ke arahnya. HUP! Dia berhasil menangkapku dan menyuruhku memantapkan posisi dudukku.
Dengan sigap ia berusaha meraih tali kudaku. Setelah berhasil, ia menarik tali kudanya dan juga kudaku hingga membuat mereka berhenti berlari secara paksa.
Aku merasa lega. Kematianku bukan hari ini. Aku bersandar pada punggung kuda laki-laki itu. Mencoba mengatur nafasku yang sedang tidak beraturan.
Laki-laki itu turun dari kudanya. Lalu ia membantuku turun dari kudanya. Kurasa dia bisa menebak kalau otot-otot kakiku masih terlalu lemas untuk bisa berdiri tegak.
“Kamu baik-baik aja, kan?” tanyanya dengan raut wajah khawatir.
Aku hanya mengangguk.
“Makasih.” Aku berusaha untuk berbicara.
“Gimana kabar kamu? Sudah lama kita nggak ketemu,” ucapnya sambil mengikatkan kudanya dan kudaku di sebuah pohon.
“Aku baik-baik aja,” jawabku dengan sinis.
“Kapan kamu datang?”
“Kemarin sore.”
Rey hanya mengangguk, tetapi mulutnya membentuk huruf “O” yang menandakan ia mengerti.
”Ehm… gimana hubunganmu sama si Lea sekarang?” tanyaku sambil duduk di sebuah batu di bawah pohon rindang.
“Hubungan kami sudah berakhir satu tahun yang lalu,” jawabnya dengan santai.
“Oh ya?” ucapku tidak percaya.
“Ya. Ehm… Kamu lagi libur semester ya? Rencananya berapa lama kamu di sini?”
“Mungkin sekitar seminggu.”
“Wah, kamu banyak berubah ya.”
“Maaf, aku harus cepat-cepat pulang.”
Aku berdiri dan beranjak pergi. Aku sedikit menghindar dari percakapan ini karena aku tahu Rey akan membicarakan tentang masa lalu.
“Aku antar ya?”
“Nggak usah. Aku bisa pulang sendiri.”
Aku pun mengambil kudaku dan pergi meninggalkannya sendiri.
---------- *********** ----------
Rey dan Lea sudah putus setahun yang lalu? Pantas saja Rey bersikap sangat baik padaku. Biasanya dia bersikap biasa saja pada wanita lain saat ia masih bersama Lea.
Rey dan Lea adalah teman sekelasku sejak SMP. Mereka sudah pacaran sejak masih SMP. Aku masih ingat, waktu itu Rey sempat putus dengan Lea. Saat putus, aku selalu menjadi tempat curhat Rey. Karena kedekatan itu, tanpa sadar aku menyukai Rey. Hingga akhirnya aku mendengar Rey kembali pada Lea lagi dan hatiku menjadi remuk.
“Chika, bisa minta tolong?” ucap nenekku dari ruang tamu.
“Ada apa nek?” ucapku sambil menuju ke tempat nenekku berada.
“Bisa belikan nenek lilin di toko parempatan sana? Biar Kemal yang mengantarmu ke sana.”
“Tidak usah nek. Biar Chika sendiri yang ke sana. Chika ambil kunci mobil dulu ya nek.”
“Hati-hati Chika.”
“Ya nek.”
Jarak rumah dan perempatan kurang lebih lima kilometer. Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di perempatan jalan.
Setelah membeli lilin pesanan nenek, aku tertarik untuk membeli jagung bakar. Letaknya tak jauh dari toko ini.
“Mang, rasa keju,” ucapku.
“Sip neng.”
Aku duduk di samping penjual jagung bakar itu.
“Eh, aku benci banget deh, sama si Rey. Maunya apa sih? Kalau sudah putus ya putus aja.”
Suara wanita yang sedang mengobrol itu…. Aku kenal betul suara wanita yang sedang berbicara itu. Ya, suara itu adalah suara Lea. Untuk memastikannya, aku pun menoleh ke arahnya.
“Chika? Kamu ada di sini? Kapan kamu datang dari Kalimantan?” ucapnya dengan girang.
“Kemarin sore. Gimana kabar kamu?” tanyaku.
“Baik-baik aja. Kamu sendiri? Sudah tiga tahun lho, kita nggak ketemu.”
“Hehehe… aku baik-baik aja kok. O ya, gimana hubunganmu sama si Rey?”
Aku berpura-pura tidak tahu dan ingin memastikan kejadian yang sebenarnya, seperti yang sudah kudengar dari Rey.
“Kami sudah putus.”
“Kenapa?”
“Ya… masalah sepele. Eh, kamu udah punya pacar belum? Hehehe…”
“Ah, kamu ini yang ditanyain malah pacar.”
“Hehehe…”
Cukup lama mengobrol dengan Lea sambil ditemani jagung bakar rasa keju. Setelah habis, aku pun memutuskan untuk pulang. Rasanya aku terlalu lama mengobrol dengan Lea. Pasti nenek sudah menungguku sejak tadi.
---------- ************---------
Seperti rencanaku tadi malam, aku jogging di sekitar perkebunan teh. Tak lama kemudian, aku bertemu dengan Rey.
“Hai Chika,” sapanya.
“Kamu… sedang apa di sini?” tanyaku.
“Aku lagi ngawasin para pekerja.”
“Jadi… kamu mengambil alih pekerjaan ayahmu?”
“Ya… bisa dibilang begitu.”
Kami pun terhanyut dalam obrolan yang menurutku kurang penting.
“Chika, nanti malam aku jemput kamu ya.”
“Memangnya kita mau ke mana?”
“Kita jalan-jalan. Kan sudah lama kita nggak jalan bareng.”
“Ehm… boleh juga.”
“Oke, nanti aku jemput.”
Sejak malam itu kami semakin dekat seperti saat SMA dulu. Dan sepertinya perasaan ini juga tumbuh kembali seiring waktu.
Hingga suatu hari saat aku sedang berbelanja ke pasar.
“Eh, eh, itu Chika?”
“Ya.”
“Mani geulis pisan nya? Tapi sayang, dia ngerebut pacar Lea.”
“Ih, amit-amit. Wajahnya aja yang cantik, tapi kelakuannya mah buruk.”
“He’eh.”
Ya ampun! Apa yang mereka bicarakan? Mereka bilang aku merebut Rey dari Lea? Bukankah mereka sudah putus? Apa salah, kalau aku dekat dengan Rey?
Lalu aku bertemu Lea di dalam pasar.
“Lea, sedang belanja juga?” ucapku.
“Udah tahu, masih nanya aja,” jawabnya sinis.
“Kamu kenapa? Kok jawabnya sinis gitu sama aku?”
“Jangan pura-pura nggak tahu deh!”
“Apa maksud kamu?”
“Jangan ganggu pacar orang!”
Pacar? Apa maksudnya dengan kata-kata ‘pacar’? Apakah yang dimaksud dengan ‘pacar’ itu adalah Rey? Bukankah mereka sudah putus? Kalau memang mereka belum putus, akan terjadi masalah besar!
---------- ************---------
“Chika!” sapa Rey saat aku sedang membaca majalah di teras rumah.
Rey berjalan mendekat ke arahku. Aku pun berdiri dan beranjak masuk rumah.
“Chika, tunggu!” Rey mencegahku masuk.
“Kenapa kamu menghindar?” tanyanya.
“Aku nggak menghindar dari kamu,” jawabku dengan sikap dingin.
“Kamu menghindar. Ada apa Chika? Kenapa kamu menghindar?”
Sebelum aku sempat menjawab, Lea datang dan melihat kami sedang berada di teras rumah berdua.
“Oh… jadi gitu ya? Teman makan teman, kamu Chik!” ucap Lea.
“Lea… ini nggak seperti yang kamu kira,” ucap Rey.
“Kamu nggak malu ngemis-ngemis cinta sama pacarku?!” ucap Lea padaku dengan kasarnya.
“Apa sih, maksud kamu itu?” tanyaku dengan geram.
“Mentang-mentang kamu cantik, kamu kira bisa ngedapetin Rey? Oh… aku baru inget. Kamu kan belum pernah pacaran. Jadi kamu nggak tahu gimana rasanya kalau cowok kamu deket sama cewek lain.”
“Jangan sok tahu! Tahu apa kamu tentang kehidupan saya?! Kalian pergi dari sini!” ucapku yang sudah tidak kuat menahan hinaan dari mulut Lea.
“Kenapa? Kamu takut ya? Kamu nggak berani sama aku?”
“Pergi!!”
“Lea, udah! Ayo kita pergi dari sini!” ucap Rey dengan lembut walaupun situasi saat ini sedang memanas.
Rey tidak berubah. Sama seperti saat SMP. Dia memang tidak bisa bertindak tegas pada perempuan. Ia terlalu penyayang pada perempuan.
“Kamu juga! Ngapain kamu datang ke rumah orang ini?” Lea membentak Rey.
“Kita kan teman, nggak boleh saling musuhan. Ayo Lea, minta maaf,” ucap Rey.
“Minta maaf sama dia? Aku nggak sudi minta maaf sama orang ini!”
“Aku juga nggak sudi buat maafin kamu! Pergi!!” bentakku.
“Huh! Nggak usah disuruh aku juga akan pergi dari sini! Dasar perebut pacar orang!”
Mereka pun pergi. Aku masuk kamar dan menangis tersedu-sedu.
“Memangnya apa salahku? Apa aku nggak boleh suka dan deket sama orang yang aku sukai? Apa nggak boleh? Bukankah mereka sudah putus? Tapi kenapa Lea bilang kalau mereka pacaran?”
----------***********----------
Rencanaku untuk tinggal di rumah nenek menjadi lebih dari satu minggu. Nenek melarangku untuk pulang terlalu cepat ke Kalimantan. Padahal sebenarnya aku ingin cepat-cepat pulang ke Kalimantan.
Selama itu pula, setiap kali aku bertemu dengan Lea, Lea selalu memandangku dengan tatapan sinis. Aku pun begitu. Tapi selama itu juga aku tidak dekat lagi dengan Rey.
Pagi hari saat aku membuka jendela kamarku, aku melihat sebuah surat yang diletakkan dekat jendela kamarku.
Kulirik jam dinding. Sekarang sudah menunjukkan pukul 07.30. masih 30 menit lagi. Aku pun pergi ke dapur lagi untuk membantu Bi Indah memasak.
Tepat jam 08.00 aku bersiap-siap pergi ke kebun teh milik Rey sambil berkuda.
Rupanya Lea dan Rey sudah ada di sana. Aku pun mempersiapkan mentalku dengan matang. Tak peduli apa pun yang akan terjadi nanti.
“Ehm… baiklah, aku sudah datang. Sekarang…,” ucapku dengan sinis.
“Aku minta maaf sama kamu. Aku tahu, nggak seharusnya aku kaya gini sama kamu,” ucap Lea.
Aku merasa Lea melakukannya karena terpaksa. Mungkin karena Rey yang memintanya untuk minta maaf padaku.
“Kamu baru sadar? Rasanya sakit kalau digituin! Apa kamu mau kalau kamu dibilang gitu sama orang lain?” ucapku dengan sinis.
“Tapi aku benar-benar minta maaf.”
Suaranya masih terdengar tidak tulus. Lalu aku menatap Rey.
“Rey, kamu pilih siapa?” tanyaku.
“Apa maksud kamu bilang gitu?” tanya Lea.
“Rey, kamu udah ngasih aku harapan,” ucapku pada Rey tanpa mempedulikan Lea.
“Heh! Kamu nyadar dong! Rey kan pacarku. Kenapa kamu nanya kaya gitu sama Rey? Ya pasti dia milih aku, bukan kamu!” ucap Lea dengan marah.
“Aku….,” ucap Rey dengan ragu.
“Ayo jawab!” bujuk Lea.
“Maaf Chika, aku udah balikan sama Lea dan aku nggak mungkin jadi pacar kamu,” ucap Rey.
“Hemm… kamu memang nggak ngertiin perasaanku. Nggak masalah kalau kamu pilih Lea. Aku harap kalian bahagia,” ucapku.
“Chika, maafin aku,” ucap Rey.
“Nggak usah minta maaf!”
Aku pun pergi meninggalkan mereka dengan perasaan sedih. Rey keterlaluan! Kenapa Rey harus memberiku harapan kalau pada akhirnya dia akan bersama dengan Lea?
Keesokan harinya, aku kembali ke Kalimantan. Rey menawarkan diri untuk mengantarku ke bandara. Rey juga mengajak Lea untuk mengantarku ke bandara di Jakarta.
“Hati-hati ya Chika,” ucap Rey.
“Ya. Makasih udah ngantarkan aku,” ucapku.
“Nggak usah kembali lagi ke sini!” Lea berkata saat aku sudah pergi. Tapi aku masih mendengar dengan jelas apa yang dia katakan.
‘Lea, kamu memang keterlaluan! Aku nggak akan ganggu hubungan kalian lagi. Silakan saja kalian teruskan hubungan kalian. Aku tidak peduli! Aku yakin akan mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik daripada kamu, Rey.”
0 comments:
Posting Komentar
Your Comment is So Valuable for Me
Komentar anda begitu berharga bagi saya ^^